DaisypathAnniversary Years Ticker
Lilypie 6th to 18th PicLilypie 6th to 18th Ticker
Lilypie 3rd Birthday PicLilypie 3rd Birthday Ticker

Selasa, Mei 27

Semalam di Tenggarong





(NB : foto jembatan diatas diambil oleh Ngakan Nyoman Maesa Yuda


Judul diatas bukan judul sebuah lagu ya... tapi memang terinspirasi oleh lagu "semalam dicianjur", bedanya bahwa saya disini terpesona oleh kecantikan kota (pada malam hari) serta adat budayanya, dan berharap suatu saat bisa berkunjung kembali.




Setiap mendengar kata Kutai hal yang pertama kali muncul dalam memori saya adalah kerajaannya. Dahulu kala sekitar abad ke-5 Masehi diperkirakan adanya sebuah kerajaan Hindu pertama di Indonesia yaitu Kerajaan Kutai Martadipura yang berlokasi di seberang Kota Muara Kaman, dibawah pimpinan Sang Raja Mulawarman, putra dari Raja dari Aswawarman, cucu dari Maharaja Kundungga. Hal ini bisa dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang ditulis diatas yupa (tugu batu) menggunakan bahasa sansakerta dengan tulisan huruf pallawa.

Pada abad berikutnya, sekitar awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).


Dengan adanya dua kerajaan ini dikawasan Sungai Mahakam tentunya menimbulkan perselisihan diantaranya. Yang pada puncaknya sekitar abad ke-16 terjadilah peperangan yang pada akhirnya dimenangkan oleh Kerajaan Kutai Kartanegara pada kepemimpinan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa. Raja akhirnya menamakan kerjaan taklukannya itu menjadi Kerajaan Kartanegara Ing Martadipura.

Sesuai dengan perkembangan berikutnya, ketika Islam masuk ke wilayah Kalimantan sekitar abad ke-17. Kerajaan Kutai menerima dengan baik ajaran ini. Selanjutnya munculah nama-nama Islami dalam anggota keluarga kerajaan. Sebutan Rajapun berubah menjadi Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).

Akh.. tapi saya tidak ingin membahas lebih jauh tentang sejarah Kutai Kartanegara, saat ini saya hanya ingin mereportasikan perjalanan wisata saya dan keluarga saja (ugh...senangnya.. ^_^ )

***

Karena penasaran ingin tahu lebih banyak tentang kota yang termasyhur pada zaman dulunya itu, saya dan abahnya anak-anak akhirnya memutuskan liburan panjang kali ini dengan mengunjungi Kota Kutai Kartanegara.



Berbekal peta dibarengi tanya kiri kanan, akhirnya kami berangkat juga menuju Tenggarong ibu kota Kutai Kartanegara.

Hari itu Kamis 2 Mei, langit terlihat sedikit mendung, udara tidak begitu panas (ntah apa karena kami didalam mobil ber-ac ya..?). Kami berangkat menuju arah Samarinda. Memasuki daerah Kutai Kartanegara (Kukar), sepanjang jalan yang kami lewati penuh dengan lubang dibahu kiri-kanan jalan. Jarak tempuh dari Samarinda-Tenggarong sebetulnya kurleb 40 km-an, hanya saja karena jalanan yang rusak serta sempit membuat perjalanan kami terasa sangat lama. Rumah-rumah sederhana berdinding kayu menghiasi jalan yang terbentang disepanjang Sungai Mahakam. Tidak ada istimewanya perjalanan kami saat itu, bahkan saya sempat curiga, betul ga sih arah jalannya..? Soalnya melihat kondisi jalan yang begitu tidak terbayangkan dalam benak saya bahwa nun jau disana terdapat sebuah kota yang cukup terkenal akan keindahan jembatannya.

Saya merasa kebenaran arah jalan yang kami tempuh ketika mulai memasuki Kota Tenggarong, ketika ruas jalan menjadi lebar -sangat lebar-, kontras dengan jumlah kendaraan yang melaluinya, jalan besar tersebut terlihat sedikit lengang jadinya.



Karena capek dan lapar, akhirnya kami berputar-putar mencari penjual makanan. Menurut pengamatan saya, sepanjang jalan besar itu hanya ada satu rumah makan yang terlihat paling besar diantara warung makan lainnya, yaitu : RM Padang (ugh.. nggak lah, jau-jauh ke Tenggarong masa maemnya masakan Padang sih..., secara kami dah kenyang makan masakan Padang semasa masih tinggal di Duri - Riau gitu lho...). Akhirnya kami memutuskan untuk makan ditempat lain, dan warung masakan Banjarlah yang kami pilih. Tempatnya kecil tetapi terlihat lebih bersih dibanding warung lainnya. Menu yang ditawarkan tentunya khas Banjar lah. Karena baru pertama kali makan masakan Banjar, jadi rasanya masih agak asing dilidah, tapi teteeppp habiss dong (wah ini karena lapar apa gembul ya..?hehe). Selesai makan, kami langsung menuju Hotel Singgasana (hotel terbesar satu-satunya-untuk saat ini), letaknya diatas perbukitan, dari hotel itu terlihat pemandangan Kota Tenggarong dan hutan disekitarnya.




Seperti halnya di pusat kota, suasana di hotel inipun sangat sepi, sepintas seperti hotel yg sedang tutup, tapi karena melihat sekuriti yang menjaga gerbang, dan beberapa motor karyawan yang terparkir, saya merasa ada segelintir orang didalamnya. Karena nggak ada penjaga pintu hotel, sambil celingukan saya membuka pintu tersebut, mencari para pegawai hotel didalamnya. Sunyi senyap yang terlihat. Beberapa detik kemudian salah satu resepsionis hotel itu akhirnya menyembul juga dari balik meja kayu besar didepannya. Sambil menyapa dengan senyum yang dibuat seramah mungkin "selamat sore bu..ada yang bisa saya bantu..?". Fhh... lega jadinya, ternyata ada juga orang di hotel itu.

Melihat dari bentuk dan isinya, sepertinya hotel ini masuk kategori hotel berbintang, berdasarkan plakat peresmian yang dipasang didinding, hotel ini diresmikan tahun 2003 yang lalu oleh wapres Hamzah Haz. Mungkin karena pengunjungnya yang sedikit, jadi pemasukannya pun sedikit juga, menjadikan hotel ini terlihat terbengkalai.


Malam harinya, setelah puas beristirahat, kami keluar untuk berjalan-jalan dan cari makan. Dari atas bukit, pemandangan Kota Tenggarong pada malam hari terlihat sangat cantik, lampu-lampu hias kota dan lampu sepanjang jembatan begitu berkilau keemasan, tidak disangka pemandangan kota yang kami lihat disiang hari sunguh jauh beda dengan apa yang terlihat pada malam hari. Dengan perasaan senang dan sedikit merasa romantis, kami meluncur turun menuju pusat kota.



Lampu-lampu hias berukuran besar beraneka bentuk dan warna menghias gedung-gedung pemerintahan yang berdiri megah sepanjang jalan besar. Begitu juga lampu-lampu penerangan sepanjang jembatan yang menghubungkan dua wilayah kota yang terpisah oleh Sungai Mahakam. Yang menariknya yaitu ditengah-tengah sungai terhampar sebuah pulau kecil, konon katanya pulau itu dulunya adalah sebuah kapal yang karam, kemudian berubah menjadi pulau, Pulau itu bernama Pulau Kumala, luasnya kurang lebih 8 Hektar, dikelilingi oleh pohon2 kecil juga beberapa wahana permainan, seperti sky tower, kereta gantung, boom-boom car, kereta api mini, ada juga beberapa cottage kecil yang dikelilingi oleh danau buatan, rumah adat dayak, dan replika candi lembuswana, sayangnya kurangnya biaya perawatan membuat hampir semua wahana permainan itu rusak, begitupun dengan cottage dan danau buatannya, terlihat sangat kotor dan terbengkalai. Untuk mencapai Pulau Kumala, kita bisa menyewa perahu motor kecil yang tersedia sepanjang pinggir sungai Mahakam, ongkosnya hanya Rp. 20.000 untuk sekali jalan. Sedangkan untuk biaya masuk pulau, kita dikenai biaya Rp. 5.000/ orang (kalau tidak salah). Disana juga tersedia mobil rekreasi dengan sopir sebagai pemandunya. Hanya dengan biaya Rp. 20.000/ mobil (ini diluar tip untuk pemandu yaa..) kita bisa berkeliling semua bagian pulau.





Selain Pulau Kumala, tempat rekreasi lainnya yang kami kunjungi yaitu Museum Mulawarman, Museum ini terbuka untuk umum, buka setiap harinya mulai dari jam 8 pagi sampe jam 4 sore, kecuali hari Jum’at buka hanya setengah hari saja, dengan ongkos masuk Rp. 2.500/ org dewasa kita bisa melihat kebudayaan rakyat Kutai mulai dari zaman dahulu sampai sekarang. Didalam Museum kita bisa melihat beberapa replica yupa berbahasa sansakerta serta patung sisa peninggalan jaman Kutai, ada juga beberapa foto2 sultan Kutai yang memerintah, pernak – pernik masyarakat pribumi (dayak) dan banyak lagi. Dibelakang Museum terdapat mesjid serta kompleks pemakaman sultan Kutai. Untuk yang ingin berburu souvenir jangan khawatir ya.., karena di belakang kompleks pemakaman raja-raja Kutai kita bisa menemukan beberapa kios yang menjual cendramata khas Dayak, ada juga beberapa batu mulia yang dijual disana, cuman namanya juga ditempat wisata, jadi harga yang dijual memang agak lebih mahal lah. Disamping Musium Mulawarman terdapat gedung planetarium, sayangnya saat kami berkunjung kesana, tempat itu sedang dalam perbaikan.



Setelah puas berkeliling Kota Tenggarong, waktu menunjukan jam 4 sore, abah memutuskan untuk kembali menginap, hanya saja kali ini kami akan menginap di Samarinda. Kota Samarinda lebih semerawut dan kotor dibanding Balikpapan, tidak banyak papan petunjuk jalan disana, jadi bagi kami sebagai tamu sangat menyulitkan kondisi seperti itu. Lebih 1 jam lamanya kami berputar-putar mencari hotel. Akhirnya abah membeli sebuah peta Samarinda di dekat lampu merah. ½ jam kemudian akhirnya kami sampai juga di Hotel Bumi Senyiur. Sebuah tempat yang lumayan menyenangkan untuk bermalam.



Besoknya, menjelang siang, kami pulang kembali ke Balikpapan. Ditengah perjalanan kami beristirahat dan makan siang di RM. Tahu Sumedang, warungnya cukup luas, dengan lahan parkir yang lumayan luas juga. Suasana yang masih asri dan sejuk, penuh dengan pepohonan, ditambah alunan musik gending sunda dan sajian makanan khas sunda yang uenaakk pisan, membuat siapapun akan merasa ingin kembali makan disana. Setelah makan siang dan sholat dzuhur, kami kembali melanjutkan perjalanan menuju Balikpapan, tempat baru kami menaruh harapan.





Baca selengkapnya......